Masih hangat kasus sate sianida di Yogjakarta yang pelakunya seorang wanita muda. Kasus ini pasti mengundang banyak respon dari para netizen kita yang terkenal fasih menjadi komentator bahkan tak jarang jadi bahan guyonan dan lupa berempati pada korban sate sianida. Para netizen gerak cepat mencari akun facebook, atau apapun yang berkait dengan wanita tersebut, kemudian saling adu komentar, menghakimi, dan lupa bahwa dirinya kadang lebih buruk dari orang tersebut. Di jagat maya tak jarang yang tak saling kenal tapi saling menyakiti, menguliti, dan membully. Kita merasa bangga, puas, apalagi jika komentar kita mendapat like dari netizen lain. Kita tanpa sadar telah mengambil alih wewenang Tuhan dengan menghakimi sesama.
Tak cuma di dunia maya, di kehidupan nyata pun banyak lambe turah yang mulutnya lebih pedas dari sambal setan. Di desa atau perkotaan, warung, atau ketika belanja di abang sayur keliling forum ghibah biasa digelar, apalagi jika disuguhi kletikan, teh dan teman - temannya. Ada tetangga yang jarang ikut arisan jadi bahan rasan - rasan, padahal kita nggak tahu kerepotan hidupnya, apalagi membantu meringankannya, kalau menjatuhkan kita sudah mencapai tingkat expert. Ada tetangga yang terlihat tak pernah bekerja, di rumah saja tapi bisa bangun rumah, tiap hari belanja online, beli mobil baru, kita panas dingin dan menghembuskan fitnah macam - macam, mulai dari pelihara tuyul atau babi ngepet. Padahal tetangga tadi seorang design grafis, penjual online yang pekerjaannya tak harus keluar rumah. Zaman sudah berubah, kemajuan teknologi tak terbendung tapi kita tetap memelihara kemalasan dan kebodohan.
Mungkin kita sudah lupa atau bahkan mungkin tak punya tujuan hidup, bahwa tujuan atau tugas kita hanya untuk beribadah kepada Tuhan. Bentuk ibadah itu macam - macam, mulai dari murah senyum, saling sapa, bekerja untuk keluarga, berbagi ilmu yang kesemua tadi digunakan untuk bekal kita menghadap Tuhan.
Kesalahan atau dosa kita terhadap Tuhan bisa kita langsung memohon ampunan kepada Nya dan pasti diampuni karena sifat Tuhan Yang Maha Pengampun. Tapi kesalahan kita pada sesama, bagaimana cara meminta maaf jika kita tak pernah bertatap muka, bahkan tak saling kenal.?
Cukuplah kita belajar dari kesalahan orang lain,agar kita tidak melakukan apa yang mereka lakukan, bukan malah jadi hakim. Kalau bisa saling merangkul, kenapa memukul? Kalau bisa saling mengasihi, kenapa malah saling mencaci?Kalau bisa saling menopang, kenapa harus saling menjatuhkan?
Suka banget dg kata dan makna paragraf terakhir. Great
BalasHapusYa begitulah manusia, berasa hebat dikit saja sudah lupa diri, semoga kita dijauhkan dari sifat2 buruk yang seperti itu🙏
BalasHapus